HANYA 3 STAGE SAJA

Oleh: H. J. FAISAL

STAGE 1

KEBOHONGAN SEORANG ISTRI SOLEHAH

Untuk dapat merasakan makan daging sebagai lauk pauk makan mereka sehari-hari, keluarga miskin itu biasanya harus menunggu dua momen dalam kehidupan mereka.

Momen pertama, adalah ketika tetangga mereka mengadakan hajatan atau kendurian. Dan momen kedua adalah ketika hari raya idul adha tiba. Dari sedekah tetangga mereka yang mengadakan acara hajatan atau kendurian tersebut, dan dari jatah pembagian daging kurban di hari raya idul Adha itu juga, barulah mereka dapat merasakan nikmatnya makan daging sapi yang diolah menjadi dendeng, rendang sederhana, ataupun sop.

Sang suami yang hanya bekerja sebagai pedagang buah keliling kecil-kecilan, hanya mampu memberikan istri dan anak-anaknya lauk pauk yang sekedarnya saja, sekedar sebagai teman nasi putih.

Namun hal tersebut tidaklah mengurangi rasa syukur mereka atas semua nikmat makanan seadanya yang sampai ke mulut dan perut mereka. Tidak ada rasa iri sedikitpun di hati keluarga itu jika melihat tetangga mereka yang mampu untuk makan daging setiap hari. Masih banyak hal lainnya yang dapat mereka syukuri, begitu pikiran mereka untuk membungakan hati mereka.

Suatu hari, datanglah ibu sang istri, untuk menengok keadaan anak perempuannya, menantu, dan cucu-cucunya.

Sang ibu kali ini membawakan oleh-oleh rendang daging untuk mereka.

Ketika rendang daging itu dihidangkan di meja makan untuk disantap bersama, sang istri memberikan hampir semua bagian rendang dagingnya untuk suami dan anak-anaknya, sehingga dia hanya makan sedikit bagian saja.

Sang ibu pun bertanya kepada anaknya tersebut…..”Kenapa kamu sedikit sekali makan daging rendangnya, apakah kamu tidak suka rendang buatan ibu?”

“Suka kok, Bu….hanya saja sepertinya saya agak bosan makan daging, karena akhir-akhir ini, suamiku selalu mendapatkan rezeki yang agak banyak dari hasil dagangnya, sehingga kami bisa agak sering makan daging…” jawabnya dengan penuh kebohongan.

“Biarlah daging rendang ini aku berikan untuk suamiku dan anak-anakku saja, sepertinya mereka masih belum bosan makan daging, Bu…..”

“Baiklah kalau begitu….Alhamdulillah, ibu senang sekali mendengarnya….” timpal sang ibu.

STAGE 2

MENGAPA HARUS SELALU MENUNDA?

Tidak seperti biasanya, sudah hampir sebulan terakhir ini, sang istri terus saja meminta kepada suaminya untuk meluangkan waktunya, agar dapat pergi liburan bersama, meskipun hanya 2 atau 3 hari saja.

Dan berulang kali pula sang suami selalu saja memberi alasan penolakan secara halus, dikarenakan dia mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya. Apalagi pekerjaan tersebut mempunyai penilaian tersendiri dari atasannya, jika dia dapat menyelesaikannya tepat waktu.

Namun entah mengapa, pagi ini sebelum sang suami berangkat bekerja, untuk menyenangkan hati istrinya, dia menjanjikan kepada istrinya untuk mencoba meminta cuti kepada atasannya di akhir minggu ini, agar mereka dapat pergi liburan bersama.

Sang istri pun menyambut janji suaminya tersebut dengan raut wajah yang datar, dan nyaris tanpa ekspresi.

Menjelang waktu agak siang, telepon genggam sang suami pun berdering. Sebuah nomer yang tidak dikenal, masuk. Ketika dia menjawab panggilan telepon tersebut, ternyata itu adalah panggilan nomer telepon sebuah rumah sakit, dan pihak rumah sakit tersebut mengabarkan bahwa istrinya ada di ruang Instalasi Gawat Darurat dalam kondisi meninggal dunia.

Pihak rumah sakit pun menjelaskan bahwa istrinya mengalami kecelakaan, tertabrak sebuah mobil, tidak jauh dari kediaman mereka. Banyak terjadi pendarahan dalam di sekitar kepalanya, sehingga nyawanya tidak terselamatkan begitu sampai di rumah sakit. Salah seorang tetangga mereka yang melihat kejadian itu, langsung membawa istrinya ke rumah sakit. Kejadiannya begitu cepat, menurut penelepon dari pihak rumah sakit tersebut.

Hanya air mata penyesalan yang mengalir, dan rasa sebak di dada, yang menyesakkan nafas sang suami saat ini.

STAGE 3

‘HILANG’ SATU PER SATU

Di saat sepi seperti inilah, kenangan semua masa lalu dengan para sahabat dekatnya selalu terbayang. Kenangan yang telah memberikan dia banyak pelajaran hidup. Ya, pelajaran yang didapatkan dengan mengalami masa senang dan pahit bersama. Pelajaran hidup yang tidak pernah didapatkannya di bangku sekolah, dan di bangku kuliah sekalipun.

Kini, para sahabatnya tersebut mulai ‘hilang’ satu per satu. Mereka telah menemui ‘kepastiannya’ masing-masing. Hanya senyum dalam kesendirian yang muncul, ketika dia ingat masa-masa yang indah bersama mereka. Dan hanya air mata kesedihan dalam kesendirian yang keluar, ketika dia ingat bagaimana mereka harus menahan lapar, menahan haus, dan menahan semua keinginan mereka, dikarenakan keterbatasan rezeki yang pernah mereka alami di waktu-waktu sulit mereka.

Namun, ketika putaran roda nasib sudah berubah, semuanya justru malah ‘pamit pergi’ satu per satu.

Hanya pikiran bahwa dunia adalah tempat yang fana, yang membuat dia tenang. Semuanya serba tidak pasti, karena satu-satunya kepastian di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri, pikirnya.

“Pernah kita sama-sama susah
Panasnya mentari, hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat, masih ingatkah…..kau…”

Lantunan lagu itu pun selalu didengarnya….

Kini, dia pun terus mensyukuri semua ‘ketidakpastian’ yang masih tersisa di sekitar kehidupannya, sambal menantikan ‘kepastiannya’ sendiri.

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 7 September 2023

*Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI.

editor: Dewi Kusman.

ilustrasi Gambar https://i.pinimg.com/

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours