Lafaz Rindu, Edisi Ketiga Antologi Puisi Bersama Dari Komunitas Sastra PuSeRik

Perkasannusantara.com – Tangerang – Komunitas penulis, Puisi Sepuluh Larik (PuSeRik) kembali menghadirkan antologi bersama, yang diikuti oleh 50 (lima puluh) penulis. Kesemuanya merupakan anggota dari komunitas sastra maya tersebut.

Kreasi yang dihadirkan tentu saja bersumber dari hikmah dan hati yang jujur yang memancar dengan jernih. Hingga hikmah dari setiap aksara, larik-larik itu mengalir, membuka mata bathin para pecinta sastra dan siapa saja, bahkan yang tidak secara intens bersentuhan dengan sastra. Sentuhan perasaan lembut itu menjadi sangat tajam, mengaliri ruang pikir semua orang.

Pengelola PuSeRik mengambil judul “LAFAZ RINDU”, dapat dipahami judul antologi yang dimunculkan. Setidaknya mewakili karya setiap penulisnya. Hal itu tergambar pada larik berikut:
/Ketika aku lapazkan rindu, deburnya begitu lekat menjangkau/
Diperkuat dengan larik indah berikut ini:
/Halimun menebar nuansa, saat simponi malam mengiringi kidung romansa/
Sebagai penyuka sastra, diksi-diksi dan momentum pada larik tersebut begitu lekat di dalam pengembaraan jiwa.
Dua larik di atas itu menjadi pencetus dan memotivasi, penyair Sri Sukanti (Banyuwangi) bagi kelahiran puisi karyanya, yang kemudian menjadi judul antologi PuSeRik yang terbaru ini.

Lafaz Rindu atau pengucapan atas kerinduan seseorang terhadap apa yang berkelebat dalam jiwanya. Maka, hal itu kita dapati pada larik berikut:
/Aku rindu wajah ibuku/
/Namun bumi telah memeluknya dalam damai/
/Ingin kuziarahi makam wanita yang pernah menyusuiku/
/Saat aku pulang ke negeri leluhurku/
Saya kutip dari judul RINDU, karya Tanpopo Anis (saat ini mukim di Tokyo, Jepang). Penyair dengan sangat jelas bercerita tentang sebuah kerinduannya. Di mana, di tanah Jawa, penyair pertama kali melihat dunia, ia dilahirkan. Ia berimajinasi dengan jernih tentang mata bunda yang melahirkan berbinar menyerukan “Anakku….Anakku…”
/Kunantikan sekian lama/
/Untuk membuktikan bahwa aku seorang ibu/

Bahasa rindu tidak sebatas kepada satu sosok tertentu. Rindu dapat hadir untuk momentum kehangatan alam, seperti karya penyair Siti Yatmini (Samarinda) berikut ini:
/Kebekuan begitu menyiksa/
/Rentang cahaya seakan tak tertembus/
/Meski semangat tak pernah memupus/
/AdaMu adalah segala bahagia/
Judul puisi yang tulis oleh Siti, MENTARI HATI, mengisyaratkan kerinduan penulisnya pada mentari, yang menggelisahkannya setelah mendung memayung kelabu, yang mensugestinya, tak hiraukan lelah yang menyertai, dan diungkapkannya bahwa /Adamu (Mentari) adalah sejuta pelita, sebuah ungkapan atau luapan kegembiraan, bagi penyairnya dan tentu bagi kita semua.

Adalah penyair Samsul Munir Amin (Malang) berbagi cerita bagaimana ia menyuarakan kerinduannya, melalui puisi RINDU, berikut ini:
/Tuhan/
/Hanya kepada-Mu/
/Kusampaikan seluruh rinduku/
/Kupanjatkan seluruh doaku/
Bahwa, penyair memaknai terhadap situasi yang diiamjinasikannya, burung-burung bernyanyi sunyi, pucuk dedaunan terpekur tiada berdesau, merenung dihembus angin yang lirih, menatap hari hari sendu, selintas duka menghadang, menusuk hati, menikam pedih. Maka, mengertilah kita kepada siapa, nuansa serupa apa yang menguatkan rindunya. Suara kerinduan yang hemat saya sangat mewakili siapa saja disaat menghadapi situasi kondisi yang sama.

Bentuk ungkapan kerinduan memang dan dapat berbagai rupa dalam ruang aksara (puisi). Bunda Moel Soenarko (Bandung) diungkapkannya melalui larik-larik dengan memilih judul JALAN MENCARI UJUNG, berikut ini:
/Hidup menuntut kesungguhan memiliki misi tujuan/
/Bukan terbang melayang-layang, habis waktu terbuang/
/Tak berujung tak berpangkal, hanya berpangku tangan/
/Tak temukan jalan lurus, hidup tak berkemampuan/
Penulis yang hemat kami sudah begitu banyak dan panjang perjalanan berkeseniannya, memaknai hidup kehidupan ini dengan diksi yang lembut tanpa sedikit pun menyudutkan, melukai sesamanya. Bahkan penyair dengan sangat bersahaja menyampaikan nasehat tanpa terasa menasehati sesiapa pun.
/Tak ada tepuk sorak menanti penghargaan/
/Tak ada puji-pujian tanpa juang kegigihan/
/Mengubah kualitas kehidupan menyiasati kemungkinan/
/Meyakini temukan hati nurani sensibilitas indrawi/
/Tercipta aspirasi tertinggi dalam batin manusiawi/
Maka bila mengikuti dengan jernih setiap larik-larik yang kita simak dari puisi Jalan Mencari Ujung ini, sedemikian rupa kerinduan dari Bunda Moel Soenarko dengan cara pengungkapan kerinduannya yang sangat indah.

Pada antologi puisi sepuluh larik ini, penikmat sastra memperoleh banyak pengalaman menarik dan berkesan atas puisi-puisi yang terekam oleh waktu. Pada puisi TAHUKAH DIKAU? karya RBM Sutartomo (Solo), warna pengungkapan kerinduannya mewakili sejumlah pribadi yang pasti ada dan mengalami pengalaman seperti gambaran imajinasi penyairnya, berikut ini:
/Saat cinta ini sedang merindu/
/Tapi tiada seorang pun yang tahu/
/Karena ini sebuah cinta seorang pemalu/
/Yang hanya memendam rasa cintanya/
/Tiada keberanian untuk mengungkapkannya/
/Walaupun ada juga yang cinta padanya/
/Tapi sama-sama tak bisa ungkapkan kata-kata/
Lihatlah keterbukaan larik-larik yang melukiskan sebuah keberadaan cinta namun sama sama terkunci di dalam diri. Meski dengan adanya pertanyaan akan bertautkah cinta kasih keduanya?
/Hanya ada kata tanya/
/Tanpa ada yang tahu jawabnya/
Ini pun sebuah cara melafazkan kerinduan akan keingintahuan cerita cinta sepasang manusia, yang memiliki sifat yang sama-sama pemalu.
Pemalu adalah orang yang memiliki sifat gugup, khawatir, atau canggung selama berinteraksi sosial, terutama dengan orang asing yang baru dikenal. Ada dua jenis pemalu, yakni orang yang merasa malu karena situasi tertentu dan orang yang pada dasarnya sudah memiliki sifat pemalu. Dalam hal ini sosok yang diimajinasikan penyair berada di dalam ruang tersebut.

Ada pula yang lebih menukik pada pendekatan filsafat dalam mengungkapkan kerinduan. Benarlah adanya setiap penyair memiliki kemampuan dengan kekhasan yang ada padanya. Saya, ingin mengajak kita semua, penikmat sastra kepada karya Lintang Lirang (Blitar) berjudul SATU ‘AIN, sebagai berikut:
/Jarak jauh bandar rindu/
/Sauh berdebu/

/Laut merupa ombak/
/Menepi dipeluk angin/
/Membasahi kelomang dan pasir pantai/
/Lalu kembali/
/Mencari nun pada bunga-bunga karang/
/Mengeja lam alif pada buih mengambang/

/Cahaya suar berputar/
/Mari menebar jalan di laut tenang/
Penulis menghadirkan diksi yang hemat saya menarik, sebab mengharuskan telisik agar kita menemukan inti pesan yang terkandung.

Hadir prinsip atas pemaknaan diksi jala, dengan jala ialah menuntun kita untuk memperoleh sesuatu atas tahapan perjalanan hidup ini, agar tidak sia-sia adanya. Begitu kuat kedalaman pesan pada larik “Mengeja lam alif pada buih mengambang” lalu, mencari nun pada bunga-bunga karang. Penyair telah membawa kita kepada kedalaman rasa cinta kita kepada Sang Maha Pencipta segala isi alam ini.

Betapa setiap penyair dapat memaknai sebuah momentum yang melahirkan karya sastra puisi. Mari kita cermati karya indah penulis Yuyun Mahyuni (Palembang), TENTANG BULAN. Ada semacam keengganannya pada kehadiran bulan purnama. Mungkin saja ia menyimpan cerita kenangan yang tidak ingin ia ingat kembali pada setiap munculnya bidadari malam itu. Ikuti larik-lariknya:
/Purnama kesekian/
/Tiada kabar tuan/
/Kupunguti kenangan agar rindu tetap bertahan/
/Tapi hati makin menyerpih dalam ketidakpastian/
/Runtuh perlahan/
/Menjadi tanda akhiri penantian/
Pada bait berikutnya, penyair mengemukakan alasan mengapa ia begitu risau atas kehadiran rembulan,
/Ah bulan kembali datang/
/Aku gamang/
/Hanya terdiam/
/Tak ingin lagi mengenang/
Dengan larik-larik lugas, singkat, penulis telah jujur dengan ungkapan rindunya. Setiap lembaran kenangan disimpannya untuk satu kata “rindu” agar terus mengendap dan bertahan di dalam ingatannya. Sebuah cara sederhana namun elegan untuk menyatakan rasa rindu dan orbit kerinduan.

“Rindu adalah pelangi di langit hati. Ia hadir untuk memberi warna pada kehidupan dan rindu adalah pelukan jiwa saat bertemu dengan kekasih,” hal itu diungkapan seorang Sufi terkenal, Jalaludin Rumi.

Semoga kehadiran antologi puisi sepuluh larik edisi ketiga ini, semakin menguatkan dalam memelihara silaturahmi yakni dengan terus aktif melahirkan karya dengan kekhasan komunitas yang sudah terbangun, dicintai, oleh banyak khalayak penulis/penyair.

Biasanya, akan terjadi penurunan spirit mempertahankan apa yang sudah dikenal luas, namun semoga hal itu tidak terjadi.

Saya meyakini banyak kekurangan dalam saya menyajikan pengantar ini, namun saya meyakini pula, keberadaan karya sastra puisi sepuluh larik, semua penulis jauh lebih memberi kesan indah untuk seluruh kreasi yang sudah tersusun dengan sangat baik.

Tangerang, 27 Agustus 2024

Ditulis oleh: Eddy Yusuf

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours