Fenomena Wayang pada Sastra Indonesia

Oleh Ni Made Sri Andani

Dari Forum ke 10 Diskusi Meja Panjang – Komunitas Dapur Sastra Jakarta (28/9/2024), ada tema menarik yang dibahas di forum Diskusi Meja Panjang di PDS HB Jassin Lt 5 Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pembicaranya Pak Yanusa Nugroho & Pak Sunu Wasono, pembicara yang kelihatannya memang berkutat banyak dengan Wayang. Moderatornya adalah Mas Yon Bayu Wahyono.

Wah… bakalan menarik ini pastinya. Sayapun memutuskan untuk hadir. Benar saja. Obrolan dipantik oleh Pak Yanusa Nugroho yang mengajak audience untuk memfokuskan pada “cerita” wayang jika kita berbicara wayang pada sastra, karena pada dasarnya sastra itu ya berupa text.

Lalu, beliau memaparkan beberapa contoh karya sastra yang bersumber pada Wayang serta penulisnya, di antaranya Nyoman Pendit dengan karya fenomenalnya “Mahabarata”, Herman Pratikto dengan karyanya yang berjudul “Hamba Sebut Paduka Rama Dewa” , Seno Gumira Ajidarma dengan novelnya “Kitab Omong Kosong” dan “Wisanggeni – Sang Buronan”, Sunu Wasono dengan buku “Jaladara”, dan masih banyak sekali yang lainnya, termasuk Pak Yanusa Nugroho sendiri dengan bukunya “Pohon Purba Berdahan Pelangi Berdaun Bintang” yang berkisah tentang Adipati Karna.

Pak Yanusa juga menceritakan bagaimana Danarto melakukan tafsir ulang atas karya “Abimanyu Gugur” yang aslinya sangat Hindu menjadi tasawuf dalam karyanya yang berjudul “Nostalgia”.

Pada akhirnya Pak Yanusa meyakini bahwa nilai-nilai pada Wayang adalah sesuatu yang beliau tetap akan perjuangkan karena memang layak untuk diperjuangkan.

Sementara, Pak Sunu Wasono menyatakan bahwa Wayang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Nusantara. Buktinya banyak dari kita memiliki nama yang bersumber dari tokoh-tokoh pewayangan, seperti Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sahadewa, Kresna, Sinta dan lain sebagainya. Walaupun Sengkuni, jarang dipakai sebagai nama orang.

Selain untuk nama orang, nama-nama tokoh wayang juga digunakan untuk menamai jalan, gunung, merk dagang, makanan, nama ajian, dsb.

Semua membuktikan, bahwa sebenarnya Wayang itu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Berdasarkan cerita wayang yang ada, di tangan kyai dalang yang berbeda bisa ceritanya berbeda. Demikian juga yang terjadi pada karya sastra. Tafsir penyair yang berbeda terhadap cerita yang sama bisa berbeda. Penulis yang berbeda bisa membuat cerita wayang baru yang berbeda dari aslinya dan tetap menarik untuk dibaca.

Nah, ini menarik perhatian saya. Sebagai salah seorang yang menggemari kisah wayang sejak kecil, saya juga menemukan bahwa kisah wayang (terutamanya dari Ramayana dan Mahabharata) di Jawa dan di Bali ada penambahan karakter yang tidak dikenal dalam cerita yang sama di India, walaupun secara keseluruhan & garis besar ceritanya sama.

Untuk mudahnya, misalnya tokoh 4 orang punakawan (Semar, Petruk Gareng & Bagong) ini tidak ada di kisah versi India. Hanya ada di Jawa.

Dan lucunya lagi, ketika bermigrasi ke Bali, 4 tokoh punakawan ini berganti nama menjadi Tualen, Sangut, Merdah, Delem dan memiliki personality yang berbeda, di mana 2 orang adalah protagonis dan 2 orang lagi antagonis.

Nah lho !? Ini sejalan dengan penjelasan Pak Sunu tadi, karena sastra yang bersumber dari Wayang itu bisa dirubah oleh penulis yang berbeda-beda.

Nah, pertanyaan saya adalah, sejauh mana kita boleh merubah-rubah karakter atau alur cerita atau point of view karakter wayang yang sudah dikenal umum? Saya merujuk pada pemikiran Sujiwo Tejo dalam Rahvayana yang membuat seisi nusantara terkejut karena berhasil mengajak orang untuk melihat Rahwana dari sisi pandang yang lain.

Pak Yanusa dan Pak Sunu kompak menjawab bahwa sebenarnya tidak ada batasan. Ya sah-sah saja jika pengarangnya membuat kisah yang berbeda dari karakter dan personality tokoh di cerita aslinya.

Selain itu mengarang cerita yang berbeda versinya akan membantu membuat wayang tetap update dan relevan dengan anak-anak muda.

Dan menurut Pak Yanusa, soal perubahan sudut pandang cerita Sujiwo Tejo tentang Rahwana itu sebenarnya sudah dipikirkan dan didiskusikan bertahun-tahun sebelum dieksekusi. Melalui pemikiran dan proses yang sangat panjang.

Lah, jika wayang ceritanya tetap begitu- begitu saja tanpa dinamika, siapa yang mau menonton? Isinya nasihat saja, ya ditinggal tidur penontonnya. “Ya, bener juga sih”, bathin saya, sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Tapi yang membuat optimis adalah bahwa dengan bukti adanya banyak versi karya sastra yang berbasis wayang, menunjukan bahwa generasi muda masih mencintai wayang dan kemungkinan besar wayang akan tetap eksis ke depannya.

Namun mengutip pendapat Pak Yanusa, jika memang suatu saat wayang itu harus mati, ya biarkanlah mati. Tetapi sepanjang ia belum mati, mari kita perjuangkan. Diskusi yang menarik.

Editor: Eddy Yusuf

foto: dokumen Ni Made Sri Andani

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours